Bagi kalangan pecinta militer seperti saya, film-fim yang berbau peperangan merupakan tontonan yang menyenangkan. Koleksi film pertempuran dari perang dunia ke 2 pun cukup memenuhi hardisk laptop. Aksi-aksi heroik dengan dentuman senjata serta parade kecanggihan mesin-mesin pembunuh menjadi tontonan yang tidak akan pernah membosankan. Apalagi dilengkapi dengan cerita drama kemanusiaan, strategi pertempuran, dan diangkat dari sejarah (kisah nyata).
Dari film-film pertempuran karya Tom Hanks dan Steven Spielberg, hanya Band of Brohter yang tidak pernah bosan untuk terus ditonton. Film ini telah berhasil mengalahkan kebiasaan saya yang hanya menonton film dalam sekali lihat. Yah, saya hanya biasa menonton film cukup sekali. cukup mengetahui ceitanya saja. Atau bisa dua kali jika film tersebut jalan ceritanya sukar dimengerti. Tapi, Band of Brother memecahkan rekor itu. Sudah belasan kali saya tonton sejak 2006. Padahal ini adalah film serial. Film serial yang memiliki 10 episode. Belasan kali ditonton dalam 10 episode itu.
Film seri yang diputar oleh channel HBO tahun pada 2001 yang lalu, diangkat dari novel sejarah karangan Stephen E. Ambrose. Dia adalah seorang sejarawan yang cukup terenal. Kalau Anda ke toko buku (Toga Mas dan Sosial Agency Jogja) dan masuk ke bagian rak sejarah, buku-bukunya cukup banyak berada di rak-rak tersebut, seperti D-Day, Citizern Solder, dan lainnya. Dan yang saya ketahui, hanya Band of Brother yang telah di filmkan.
Lalu, apa yang membuat saya tertarik dengan film ini?
Mini seri yang memenangkan 22 penghargaan termasuk Golden Globe, dan menuai pujian dari banyak kritikus film ini merupakan film yang mengangkat sepak terjang pasukan dari Kompi Easy Resimen 506th, 101st Airborn. Pasukan ini meupakan kompi militer tentara Amerika Serikat pada masa PD II. Bisa dikatakan, film ini berdasarkan kisah nyata. Ada nilai sejarahnya. Beberapa operasi pasukan sekutu yang cukup terkenal dalam sejarah PD II seperi D-Day dan Market Garden juga di tampilkan di film ini. Gambar yang ditampilkan pun penuh dengan efek pertempuran yang sempurna. Berbagai jenis persenjataan PD II hingga mesin-mesin pembunuh seperti thank Sherman, Tiger, Panther hingga puluhan pesawar angkut C-47 melengkapi suasanasetting peperangan.
Dalam 10 episode tersebut terbagi dalam 10 judul cerita. Cerita-cerita tersebut terkumpul sesuai jalannya waktu peperangan. Mulai dari masa awal pelatihan di kamp Taccoa, Penerjunan di Normandy pada operasi D-Day, pertempuran es di Bastogne, hingga menaklukkan istana Hitler “The Eagles Nest” di Berchtesgaen Bavaria, Jerman.
Film ini bukan sekedar cerita pertempuran. Persaudaraa pun juga diangkat. Drama kasih sayang antar teman yang sedang mengalami penderitaan ketika tertembus peluru menjadi gambaran mengharukan. Di saat petugas medis berusaha menutup luka, kawan-kawan yang lain berusaha menenangkan si tertembak yang sedang panik kesakitan. Adegan pelukan, menggendong, hingga kesetikawanan antar sesama prajurit membuat gambaran kekeluargaan begitu kuat. Kekeluargaan itulah telah membangun kerja tim yang solid dalam misi pertempuran tersebut. Semua itu juga tidak lepas dari cara kepemimpinan Letnan Winters yang sangat bijaksana dan disegani oleh anak buahnya. Bukan karena pangkatnya, tetapi personnya.
|
Captain Winters |
Film ini juga mengajarkan kepemimpinan. Awalnya, Kompi Easy memiliki komandan yang cukup disiplin. Kapten Sobel namanya. Sifat perfeksionisnya membuat parajurit kompi tersebut kewalahan terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh sang komandan ketika masih berada di kamp pelatihan Taccoa. Sayangnya, Kapten Sobel merupakan pemimpin yang gagal dalam keahlian mengatur strategi, memimpin pasukan bahkan membaca peta sekalipun. Karena kekurangan itulah komanda resimen 501st Kolonel Sink menggantikan posisi Kapte Sobel kepada Letnan Meehan. Namun sayang, belum sempat memimpi Kompi Easy dalam pertempuran, ia tewas ketika penerjunan pada operasi D-Day. Tewasnya Letnan Meehan itulah akhirnya mengangkat Letnan Winters sebagai perwira eksekutif di Kompi Easy menjadi komandan Kompi.
Naiknya Letnan Winters menjadi komandan Kompi Easy menjadi cerita utama serial ini. Pasca D-Day, ia selalu berhasil dalam memimpin operas-operasi kecil yang ditugaskan oleh Resimen. Ia pemimpin yang tegas dalam keputusan, tetapi juga toleran. Taktik yang jitu membuktikan ia adalah perwira yang cerdas. Bersama sahabat dekatnya yang bernama Letnan Nixon, ia berhasil membawa Kompi Easy menjadi Kompi terbaik dalam pertempuran melawan Nazi Jerman. Hingga akhirnya ia naik pangkat menjadi Kapten.
Ternyata, karir kapten Winters begitu cepat. Setelah berhasil menghancurkan satu batalyon pasukan khusus Nazi hanya dengan satu Peleton yang ia pimpin, ia dipromosikan menjadi komandan Resimen. Berpindah tugas inilah mengharuskan ia lepas dari kompi Easy yang begitu ia cintai. Kompi Easy pun mendapatkan komandan baru yang tidak kalah hebatnya. Letnan Heyliger menjabat komandan kompi tersebut. Namun ternyata hanya sebentar. Ia menjadi korban salah tembak oleh patroli tentara Amerika Serikat sendiri. Lalu Letnan Heyliger digantikan oleh perwira baru yang bernama Letnan Dike.
Kepemimpinan Letnan Dike ternyata musibah bagi Kompi Easy. Ia adalah perwira yang malas dan tidak pernah bersikap selayaknya pemimpin. Jangankan memimpin, sikapnya yang cuek dalam memutuskan strategi menjadi karakternya. Terbukti ketika Kompi Easy ditugaskan dalam penyerangan ke Kota Foy, ia tidak bisa apa-apa dan malah membawa prajurit ke dalam kekalahan. Sebagai komandan Resimen, Kapten Winters terlihat emosi menyaksikan Letnant Dike yang tidak banyak bergerak. Denga sigap, ia menuggaskan Letnan Spiers dari Kompi I untuk menggantikan posisi Letnan Dike. Dan Letnan Spiers berhasil memangkan pertempuran dalam merebut Kota Foy. Masuknya Letnan Spiers menjadi komandan Kompi Easy menambah daftar pimpinan Kompi yang tangguh. Ia pun membuktikan kepemimpinan yang berani dan bijaksana.
Dari berbagai tipe kepemimpinan para komandan Kompi Easy, ada satu hal yang perlu menjadi pelajaran. Yaitu, pemimpin yang mampu membangkitkan motivasi pasukanya. Hal itulah yag dimunculkan oleh tokoh kapten Winters dan Letnan Spiers. Mereka menunjukkan kedekatan emosional antara perwira dan prajurit.
Strategi pertempuran yang ditampilkan mampu mengenalkan kepada penonton bagaimana kerja militer dalam sebuah pertempuran. Mulai dari penyusunan rencana, pembagian tugas tempur hingga pola komunikasi pada eksekusi pertempuran. Tugas seorang komandan kompi pun juga ditampilkan saat bertempur. Seperti Kapten Winters, ia selalu selalu dalam posisi terus bergerak. Jarang menembak, namun lebih banyak berlari dan berpindah tempat mengatur ritme tempur prajuritnya. Struktur komando pun terlihat dengan pembagian regu dengan tugasnya masing-masing, seperti regu menyerang maupun regu bertahan.
Pada salah satu episode, mengisahkan sepak terjang seorang prajurit yang bertugas sebagai medis. Prajurit Eugene menjadi tokohnya. Film ini menokohkan dia sebagai orang yang sangat bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Ia harus selalu stand by dalam kondisi apapun ketika ada teriakan panggilan medis. Menghadapi prajurit yang kesakitan hingga kematian menjadi tatapannya. Ketika dalam kondisi perbekalan medis yang sangat terbatas, ia harus berusaha mencari demi menjaga stok. Apa yang dilakukannya benar-benar menunjukkan sebuah tanggung jawab tugas yang mesti ia lakukan sebagai pelengkap tugas-tugas pasukan dalam kompi easy. Sekali lagi,bertanggung jawab dalam tugas.
|
Sersan Lipton |
Begitu juga penokohan pada Sersan Lipton. Pada episode lainnya, film ini menayangkan sepak terjang seorang sersan yang sangat loyal pada korps. Setting yang dilakukan saat berada di Hutan Ardennes Belgia. Saat itu kepemimpinan Kompi Easy dipegang oleh Letnan Dike. Seperti yang saya ceritakan di atas, Letnan Dike adalah perwira yang tidak begitu cakap kepemimpinannya. Ketika Pasukan Easy sedang membangun baris pertahanan di hutan tersebut, justru Sersan Lipton-lah yang lebih menonjol mengayomi mental para prajurit yang sedang dalam kondisi fase paling kritis pada peperangan melawan Jerman.
Emosi prajurit yang ditampilkan pun cukup terlihat. Meski sering menggunakan senjata pembunuh, tetap perang menjadi dunia yang menakutkan bagi mereka. Datangnya kematian selalu menjadi mimpi buruk. Maka, kondisi mental prajurit mempengaruhi perilaku dan psikis mereka. Dengan baiknya, sang sutradara mampu menggambarkan ketakutan-ketakutan para prajurit tersebut. Perilaku-perilaku yang diluar kewajaran pun ditampilkan sebagai penjelas gambaran kefrustasian prajurit yang jauh dari harapan untuk pulang.
The only hope you have is to accept the fact that you're already dead. The sooner you accept that, the sooner you'll be able to function as a soldier is supposed to function: without mercy, without compassion, without remorse. All war depends upon it.
-Capt Spiers
Inilah berbagai pesan moral yang ditanyangkan pada serial yang berdurasi 10 jam. Tom Hanks dan Steven Spielberg tidak sekedar membuat film yang menujukkan kehebatan tentara Amerika Serikat dan kecanggihan teknologi mesin pembunuhnya, tetapi mampu membawa emosi penonton untuk melihat lebih jelas bagaimana menjadi prajurit tempur yang sedang menunggu takdir kematiannya. Kekeluargaan dan kesolidan dalam tim menjadi gambaran sebuah pelajaran moral ketika harus menghadapi penderitaan yang sama.
Dengan menonton ini, bukan sekedar aspek hiburan yang bisa kita dapatkan. Tetapi pelajaran yang bisa kita bawa dikehidupan sosial kita. Sayangnya, film serial karya Tom Hanks dan Steven Spielberg berikutnya yang berjudul ‘The Pacific’ tidak begitu menarik, meski sama-sama mengangkat Perang Dunia II dengan latar melawan Jepang.
ini lingk untuk downloadnya gan pakek torrent
0 komentar: